Kabupaten Pulau Taliabu merupakan salah satu kabupaten di provinsi Maluku Utara, hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sula yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru (DOB). Meskipun secara administratif merupakan bagian dari Maluku Utara, namun secara geografis letak Pulau Taliabu lebih dekat dengan Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dibandingkan dengan jarak ke Kota Sofifi yang merupakan Ibu Kota Provinsi Maluku Utara di Pulau Halmahera. Tak heran jika perekonomian Pulau Taliabu sangat bergantung pada Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah karena hampir seluruh kebutuhan pokok diakses dari Luwuk bahkan tak jarang masyarakat melakukan rujukan kesehatan di Rumah Sakit yang terletak di sana, karena jika ke Kota Sofifi terlalu jauh berkali-kali lipat jaraknya jika dibandingkan akses ke Luwuk sehingga memakan waktu yang lama.
Bobong yang terletak di Kecamatan Taliabu Barat merupakan pusat dari kabupaten atau sebagai ibu kota kabupaten. Kehidupan di kecamatan Taliabu Barat khususnya daerah Bobong lebih modern jika dibandingkan dengan kecamatan lain. Namun, jangan pernah membayangkan ibu kota kabupaten Pulau Taliabu seperti yang ada di Jabodetabek atau yang ada di pulau Jawa. Karena akan sangat berbeda sekali, kenapa demikian? Karena antara lain :
1. Pembangunan yang masih belum sempurna
Berbeda dengan kota atau kabupaten yang berada di pulau Jawa, Pulau Taliabu merupakan salah satu daerah yang tertinggal di Indonesia. Karena pembangunan disini sangat berbeda jauh, masih minimnya fasilitas umum, akses jalan yang begitu sulit, bahkan bangunan yang adapun masih belum sesuai. Jangankan gedung bertingkat yang megah besar seperti pemandangan di kota Jakarta, bangunan bertingkat 2 saja masih bisa dihitung jari misalnya, Mesjid, Rumah Sakit dan Rumah Bupati.
Untuk akses jalan sendiri, warga atau masyarakat Taliabu biasanya menggunakan Sampan (perahu kecil yang biasa di dayung). Bila jarak cukup jauh misal antar kecamatan bisa menggunakan perahu bermesin, itupun bila laut sedang bersahabat. Sebab jika cuaca tidak mendukung biasanya masyarakat menunda aktivitasnya beberapa hari sampai cuaca disana cukup aman. Uniknya di pulau Taliabu, penduduk bermukim di sekitaran pantai atau di pinggiran pulau dan daerah tengahnya masih jarang penduduk bahkan masih Hutan yang lebat walaupun akhir-akhir ini mulai berkurang Hutan tersebut. Jadi tak heran jika warga disana memanfaatkan laut sebagai moda trasportasi utama mereka. Namun, bukan berarti tidak ada jalur darat hanya saja aksesnya kurang mendukung misal, jarak yang cukup jauh, jalan yang masih rusk atau bahkan belum diaspal dan lain sebagainya. Adapun yang memanfaatkan jalur darat biasanya pengguna sepeda motor atau kendaraan lain dan yang tidak memiliki kendaraan harus berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh. Satu-satunya kendaraan umum disana ialah “Bentor” bentuknya seperti becak namun menggunakan motor bukan sepeda seperti biasanya. Dan itupun harus mengeluarkan uang yang cukup mahal sebagai biaya transportasi atau ongkosnya.
2. Energi listrik yang masih terbatas
Energi listrik saat ini sudah hampir menjadi kebutuhan primer, banyak orang yang bergantung pada listrik. Misalnya, untuk aktivitas sehari-hari atau bahkan hal pendukung untuk bekerja. Sehingga tak jarang banyak orang yang marah akibat mati listrik.
Namun hal tersebut tidak berlaku di pulau Taliabu, sebab masyarakat disana sudah biasa hidup tidak bergantung pada listrik PLN. Kenapa demikian? Satu-satunya kecamatan di Taliabu yang mendapatkan listrik PLN adalah kecamatan Taliabu Barat, itupun hanya 18 jam saja dari pukul 6 sore sampai pukul 12 siang. Sedangkan kecamatan lain itu menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Namun pemasangan genset pun tidak murah, perlu biaya yang cukup mahal untuk membeli bahan bakarnya. Sehingga alternatifnya pada pukul 9-10 malam biasanya warga sudah mematikan genset sebagai bentuk penghematan biaya. Sehingga pada pukul 10 di kecamatan selain Taliabu Barat sudah gelap gulita, bahkan seperti sedang menutup mata. Hanya bulan dan bintanglah yang setia menerangi malam di Taliabu.
3. Serba mahal
Banyak yang bilang hidup di daerah Timur Indonesia memerlukan biaya yang cukup tinggi. Karena kebutuhan hidup disana cukup mahal. Sebagaian orang percaya dan sebagian lagi berpikr “masa si? Kan disana ga ada Mall, McD, bahkan tempat hiburan yang mahal seperti di kota besar?” tapi memang faktanya begitu. Biaya hidup disana serba mahal, mulai dari harga sembako, makanan dan minuman, jajanan, barang elektronik dan kebutuhan lain. Bayangkan saja minuman kemasan dalam gelas sebut saja, Ale-ale, Teh Gelas, Teh Rio dan teman-temannya itu seharga 2.000 rupiah yang mana di pulau Jawa harganya hanyalah 1.000 rupiah. Ada kenaikan harga sebanyak 2 kali lipat, mungkin 1.000 masih cukup murah coba bandingkan yang lain. Harga makan mungkin yang di pulau Jawa 15.000 rupiah itu sudah bisa makan Nasi dan Ayam sedangkan di Taliabu memerlukan uang sebesar 30.000 rupiah. Belum lagi kebutuhan lainnya? Mungkin dapat dibayangkan bagaimana seharusnya uang mereka bisa digunakan untuk kebutuhan sekunder tapi untuk memenuhi kebutuhan primer saja uang sudah habis.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena Taliabu sendiri belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Masih bergantung pada impor dari daerah terdekat seperti Provinsi Sulawesi Tengah khususnya Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai dan Kota Kendari. Sehingga membutuhkan biaya pengiriman yang cukup mahal yang mana merupakan salah satu penyebab terjadinya kenaikan harga dipenjualan.
4. Sulitnya mencari sinyal
Untuk generasi saat ini Handphone merupakan kebutuhan utama banyak anak muda yang bergantung pada Handphone. Tak jarang banyak orang yang bingung harus bagaimana tanpa Handphone. Handphone sendiri merupakan alak komunikasi yang sangat membantu bahkan banyak orang yang menggunakan Handphone sebagai sumber kerjanya “Tanpa Hp gua ga bisa kerja nih”. Orang yang biasa bergantung pada Handphone akan kesulitan untuk beradaptasi di Pulau Taliabu. Kenapa demikian? Karena disana sulit sekali untuk mencari sinyal. Jangankan untuk sekedar internetan untuk menelpon atau SMS saja perlu strategi dan perjuangan untuk mendapatkan sinyal. Hal ini disebabkan karena memang di Taliabu tidak ada tower jaringan untuk Handphone, ada pun sinyal itu berasal dari tower yang ada di sebrang laut yaitu pulau Sulawesi. Tak jarang disana masyarakat mengasumsikan bahwa apabila sinyal sedang tidak ada atau terjadi gangguan berkata bahwa sedang ada Kapal yang sedang melintas. Dan satu-satunya kartu yang dapat digunakan adalah Telkomsel selebihnya tidak akan bisa dipakai. Sehingga tidak aneh jika warga Taliabu membeli kartu dengan sebutan membeli Telkomsel. Karena ya memang kartu Telkomsel yang dijual disana. Menjadi satu-satunya kartu yang digunakan disana, sinyal Telkomsel tetap saja sulit didapatkan hanya beberapa tempat saja yang menerima sinyal seperti, pesisir Pantai, Pelabuhan dan dataran tinggi.
5. Minimnya fasilitas Pendidikan dan Kesehatan
Sudah menjadi rahasia umum untuk kita semua bahwa semakin ke Timur Indonesia kualitas Pendidikan dan Kesehatan masih sangat rendah. Sama halnya dengan pulau Taliabu dari bidang kesehatan masih sangat jauh dari kata sempurna. Mulai dari fasilitasnya seperti bangunan yang belum selesai tapi harus beroperasi, kurangnya persediaan alat kesehatan, obat dan tenaga medis. Satu satunya Rumah Sakit yang ada di Taliabu terletak di kecamatan Taliabu Barat. Sehingga tak jarang banyak pasien yang harus di rujuk ke Rumah Sakit lain dan itu memerlukan waktu yang cukup lama. Karena yang terdekat dari Taliabu hanyalah pulau Sulawesi. Dan banyak diantaranya pasien yang tidak dapat diselamatkan mulai dari faktor perjalanan yang terhambat sehingga perlu waktu cukup lama, ada juga yang memang sudah cukup parah dan penangananya kurang. Selain itu belum adanya penanganan limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dari Dinas Kesehatan maupun Dinas Lingkungan Hidup. Limbah yang berasal dari Rumah Sakit langsung dibuang ke bagian belakang Rumah Sakit yang mana hal tersebut malah menjadi sumber penyakit.
Selanjutnya dari bidang pendidikan, kita akui banyak orang Indonesia Timur yang memiliki kemampuan hebat, cerdas. Banyak dari mereka yang sukses ketika merantau ke kota, ada yang sukses berbisnis, usaha, politikus, public figure, dan masih banyak lagi. Dari hasil wawancara ke salah satu mahasiswa disana beliau asli penduduk Taliabu dan berkuliah di Bandung. Pertanyaannya “Setelah lulus mau kemana?” dia menjawab, “saya lulus mau cari kerja di Jakarta”, “ada niatan pulang ke Taliabu?”, ia lanjut menjawab “saya mau menetap saja disana”. Dan itu baru satu contoh saja, masih banyak siswa yang juga sempat diwawancarai dan kurang lebih jawabannya sama. Dari sini kita dapat berpikir, “ko ga ada ya yang mau setelah sukses pulang ke kampung halaman untuk mengabdi dan meningkatkan daerahnya?” sangat disayangkan hanya sedikit yang memiliki keinginan membangun desanya, padahal jika dipikir-pikir setiap daerah sebenernya berpotensi untuk maju. Tapi kenapa ibu kota dan kota besar lainnya justru lebih menarik? Ini menjadi salah satu pertanyaan besar.
Lanjut ke bidang pendidikan di Pulau Taliabu, disana fasilitas mengajar mulai dari ruang kelas yang sudah waktunya diperbaiki tapi masih saja digunakan, papan tulis yang sudah waktunya diganti masih digunakan, bangku dan meja rusak masih digunakan dan tenaga pendidik yang sangat kekurangan. Bayangkan saja salah satu guru Madrasah ibtidaiyah harus berperan menjadi guru di Madrasah Tsanawiyah, yang harusnya ngajar SD malah rangkap ngajar SMP. Mungkin logis-logis saja bila guru SMP mengajar SD tapi jika sebaliknya bagaimana? Hal seperti ini terjadi dikarenakan sedikitnya minat menjadi guru. Dengan alasan gaji guru yang begitu murah dan lokasi mengajar yang sulit diakses, sudah jauh-jauh ke pedalaman tapi gaji tidak setimpal dan kebutuhan yang cukup mahal. Begitu murahnya gaji guru disana sampai-sampai lebih besar dari gaji mahasiswa pulau Jawa yang mengajar di tempat les.
Dari fakta-fakta diatas yang menggambarkan kondisi yang sangat berbeda jauh dengan di kota. Ada pula hal menarik nan unik yang membuat Pulau Taliabu menjadi tempat yang istimewa. Hal unit apa aja si? Antara lain :
1. Kabupaten yang aman
Sekitar pukul 10 malam dalam kondisi sangat gelap dikelilingi hutan dan tebing berjalan dari desa ke desa lain menggunakan kendaraan roda 4, terlihat beberapa kendaraan bermotor terparkir di pinggir jalan. Suatu pemandangan yang aneh, pasti kita semua akan berpikir macam-macam. Apa itu begal? Atau motornya mogok terus ditinggal? Apa ada sesuatu yang terjadi seperti bekas kecelakaan? Perampokan? Atau kegiatan mistis yang dilakukan di hutan sehingga motornya terparkir di pinggir jalan? Setelah diselidiki lebih lanjut nampaknya hal itu wajar terjadi karena kebiasaan warga yang sengaja memarkirkan motornya di pinggir jalan. Dan kondisi saat itu akses jalan ke desa yang tempat tinggal pemilik motor sedang mengalami kerusakan (jembatan putus). Sehingga motor di parkirkan di pinggir jalan terdekat yaitu sekitaran hutan dan tebing. Namun poinnya disini adalah, ko berani ya parkir dipinggir jalan? Apa tidak takut kemalingan? Pasti kita yang bukan warga sana berpikir seperti itu. Karena seperti yang kita tahu, banyak kejadian seperti perampokan sepeda motor sering terjadi di kota-kota besar yang notabenya itu lebih aman seharusnya. Tapi kenapa di pulau Taliabu ini justru lebih aman padahal Polisi saja jarang terlihat apalagi di tengah hutan? Justru disini tidak ada yang berani mengambil kendaraan orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Hal tersebut terjadi karena di pulau Taliabu jika terjadi perampokan si rampok pasti tidak bisa kabur, selain lingkungan pulau yang sempit sehingga memudahkan dalam pencarian. Jika di bawa ke luar pulau pun dengan mudahnya cukup menjaga diarea Pelabuhan. Selain itu jika tertangkap basa sedang melakukan perampokan sudah terbayanglah ya seperti apa adat di daerah Timur.
2. Penghasil Cengkeh yang melimpah
Cengkeh merupakan varietas unggulan dari pulau Taliabu ini, sumber perekonomian Taliabu lebih dari 50% dari hasil Cengkeh. Yang mana hampir semua Petani menanam Cengkeh dan Petani sendiri merupakan mayoritas dari penduduk Taliabu. Satu orang Petani di Taliabu bisa memiliki lahan belasan hektar. Setiap panen petani bisa menghasilkan belasan ton Cengkeh kering yang siap diolah. Harga Cengkeh kering siap diolah perkilo mencapai 100.000 rupiah. Sehingga dapat dikalkulasikan penghasilan Petani Cengkeh dalam sekali panen mendapatkan penghasilan ratusan juta bahkan untuk Petani yang memiliki lahan sangat luas bisa mencapai 1 Milyar. Namun akhir-akhir ini mengalami penurunan produksi Cengkeh yang diakibatkan oleh penyebaran penyakit Cengkeh seperti pohon yang layu ketika mendekati panen dan lambat laun menjadi mati. Biasanya Petani Cengkeh langsung menebang atau bahkan mencabut pohon yang kiranya terjangkit agar tidak menyebar ke pohon lain. Masa panen Cengkeh dalam 1 tahun hanya sekali panen yaitu pada bulan Agustus, dan sangat disayangkan biasanya Petani hanya merawat pohon Cengkeh ketika mendekati masa panen saja. Bila sudah panen biasanya mereka menganggur, dan ketika mendekati panen barulah mereka ke lahan untuk membersihkan pohon dari semak atau tumbuhan liar. Itupun mereka lakukan bukan karena bentuk perawatan mereka melainkan untuk memudahkan ketika panen tiba.
3. Langit yang biru
Nomor 3 ini khusus buat mereka yang menyukai “Langit Biru”, buat kalian pecinta langit berwarna biru sangat direkomendasikan pergi ke Pulau Taliabu. Yaps perpaduan yang indah dari semesta dengan komposisi cerahnya langit biru dipadu dengan gumpalan gumpalan awan yang menghiasi. Walaupun terasa sangat terik namun tetap saja langit memiliki pesonanya. Di Pulau Taliabu sangatlah panas namun angin tak henti-hentinya untuk berlari. Sehingga waktu untuk menikmati pesona langit tidaklah buruk. Salah satu lingkungan yang masih asri jauh dari polusi dapat dilihat dari awan yang terbentuk dilangit. Awan putih yang terlihat indah dan menggumpal sangat jarang dilihat di kota-kota besar apalagi yang dipadati dengan berbagai macam industri. Jadi bisa dikatakan langit yang indah dihiasi awan yang cantik merupakan tempat yang nyaman untuk disinggahi.
4. Cocok sebagai tempat pariwisata
Selain pesona langit yang indah beberapa wisata Pantai pun tak kalah hebatnya. Pulau Taliabu yang dikelilingi pulau-pulau kecil dengan daerah pesisir Pantai dangan alam yang asri merupakan suatu potensi wisata yang cukup besar. Mulai dari Pantai yang terdapat di pesisir pulau dengan udara yang sejuk, langit yang indah, laut terhampar, angin terus bertiup suasana yang begitu nyaman dan sangat memanjakan mata saat memandangnya. Belum lagi saat mencoba untuk menyelami Laut saat mata menghadap ke dasar akan terlihat berbagai macam jenis trumbu karang yang benar-benar sangatlah asri. Terdapat ratusan jenis trumbu karang yang hidup di Laut Taliabu mulai dari jenis yang softcoral maupun jenis hardcoral. Selain itu beberapa kali warga tak sengaja melihat penampakan Lumba-lumba yang sedang melompat-lompat di Laut lepas yang jaraknya cukup jauh namun masih bisa terlihat oleh mata. Piknik ke pulau-pulau kecil yang ada di Taliabu mengendarai sampan bersama keluarga merupakan ide yang hebat.
Selain Pantai adapun wisata yang cukup menarik antara lain seperti ke Curug dan mendaki beberapa Bukit. Curug atau Air Terjun merupakan pilihan menarik perpaduan antara air yang mengalir dan lingkungan yang masih dikelilingi pohon-pohon besar, cocok sebagai tempat refreshing untuk mencari ketenangan. Selain itu mendaki Bukit bisa memacu adrenalin.
5. Kabupaten yang memiliki 2 waktu
Hal yang unik lainnya adalah Taliabu memiliki 2 waktu antara WITA (Waktu Indonesia Tengah) dan WIT (Waktu Indonesia Timur). Secara teori bila kita berpacu pada peta atau globe maka Taliabu sepenuhnya berada di Waktu Indonesia Timur namun faktanya setelah kesana justru pulau tersebut terbagi menjadi dua waktu. Perbedaan tersebut terletak di desa Meranti Jaya, kecamatan Taliabu Barat dari Meranti Jaya ke Barat ke arah desa Bobong itu memasuki Waktu Indonesia Tengah sedangkan dari Meranti Jaya kea rah Timur yaitu desa Kramat maka waktunya berubah menjadi Waktu Indonesia Timur. Hal ini terbukti dengan menggunakan waktu pada Google, yang tiba-tiba berubah setelah melintasi desa Meranti Jaya. Dan sudah diakui oleh penduduk Taliabu, kadangkala saat ada rapat dinas atau kegiatan desa seringkali salah persepsi. Sehingga saat ada kegiatan misal di Bobong sedang ada perlombaan antar desa, maka menyebutnya dengan waktu Bobong. Begitupun dengan kegiatan-kegiatan lainnya yang diharuskan terdapat keterangan tempat agar mengetahui maksud dari waktu yang ditentukan.
Komentar
Posting Komentar